Review Drama Youth of May, Romansa yang Menyayat Hati

Foto: KBS

Akhirnya kelar juga nonton Youth of May, salah satu drama yang menguras air mata tahun ini. 

Sebelumnya sempat maju mundur untuk menyelesaikan drama ini. Bahkan mungkin aku drop di tengah jalan--eh gak di tengah jalan juga sih, karena memang baru dua episode yang aku tonton dan berhenti. Anggap saja baru 10 langkah. Hihihi...

Tapi aku sudah berjanji ketika dramanya tamat akan aku selesaikan. Namanya janji ya harus ditepati. Meski sudah tahu ending-nya seperti apa, tetap saja maraton selama tiga hari. Dan hasilnya, nangis segugukan.  

Ini bukan kisah cinta pasangan yang terpisah maut karena penyakit mematikan macam Endless Love dkk... Sumpah. Ini lebih nyesek. Lebih bikin hati kretek berkeping-keping! 

Drama ini berkisah tentang Hwang Hee-tae, seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang  bertemu dengan Kim Myung-hee, perawat di sebuah rumah sakit di Gwangju. 

Keduanya lalu saling jatuh cinta. Awalnya, kisah mereka hanyalah kisah cinta beda kasta. Hwang Hee-tae anak seorang pejabat di kementerian pertahanan, sedangkan Myung-hee, anak seorang pedagang di pasar yang tentu saja dari kecil hidup tak bergelimang harta. 

Meski hubungan mereka tak semulus jalan tol, namun keduanya tetap mengukir asa bahwa kelak bahagia akan menghampiri.

Hingga akhirnya pemerintah memberlakukan darurat militer untuk menangkap penyusup dari Korea Utara yang katanya bersembunyi di Gwangju.

Dalam sekejap kota kecil itu jadi kacau balau. Tentara turun ke jalan, memukuli, menyekap, menculik, dan bahkan menembak warga sipil. Tak pandang bulu, anak kecil, lansia, wanita semua diperlakukan sama.

Sumpah. Kesal sekali sama tentara yang nembak warga sipil itu sambil senyum-senyum kayak gak ada dosa! Iya sih, itu perintah dari atasan, tapi jangan langsung main tembak, kan bisa interogasi dulu! 

Dan satu peluru itu akhirnya bersarang juga di tubuh mungil Myung-hee, setelah ayahnya lebih dulu meninggal di tangan tentara yang membabi buta. 

Dia sekarat sendirian. Tanpa orang terkasih di sisinya. Jasadnya ditinggalkan di tengah hutan. Dan kerangkanya ditemukan 41 tahun kemudian. Nyesek? Iya pasti. 

Dan tahu apa yang lebih bikin kretek? Doa mereka ketika akan menikah. Hwang Hee-tae berdoa agar Tuhan tak memberi Myung-hee rasa sakit lagi. Bebankan saja semua rasa sakit itu padanya. Ia mampu menanggungnya.

Apa doa Myung-hee? Jika ia pergi lebih dulu, tak apa Hee-tae menangisinya hingga airmatanya penuh sampai di dagu, tapi ia meminta Tuhan memberi Hee-tae kekuatan untuk berenang agar tidak tenggelam. 

Dan Tuhan menjawab doa mereka. Tuhan mengambil Myung-hee lebih dulu agar rasa sakit kehilangan hanya dirasakan Hee-tae. 

Tapi Tuhan juga menjawab doa Myung-hee dengan memberi Hee-tae kekuatan untuk tetap bertahan hidup. Dia tidak tenggelam dalam masa lalunya, tapi berusaha berdamai hingga akhirnya ia menemukan kerangka Myung-hee setelah 41 tahun menunggu. Sumpah itu nyesek!

Aku sudah tahu endingnya, tapi tetap nonton, kan kampret. Apalagi nonton malam-malam, dengerin backsound yang cuma na na na na na diiringi petikan gitar kayak disayat-sayat. Perih.

Drama ini mengajarkan bahwa sekacau apapun dunia, percayalah akan selalu ada orang baik. Seperti Pak Polisi yang berkorban agar warga sipil tak bersalah itu kembali pulang ke rumah masing-masing. 

Direktur rumah sakit yang menolak saran agar mereka berhenti menerima pasien yang menjadi korban kekerasan aparat, meski konsekuensinya bisa saja mereka dibombardir oleh tentara-tentara itu.

Kakak beradik Soo-Chan dan Soo Ryeon yang memberikan semua persediaan obat-obatan mereka untuk para korban luka. Mereka memang tidak bisa mengubah dunia, tapi setidaknya mereka tahu apa yang harus dilakukan. 

Dan tahu apalagi yang bikin nyesek. Saat Myung-hee membaca surat ayahnya, tepat di samping jasad ayahnya.

Ayahnya mengganggap dirinya sudah menjadi angin yang menghalangi jalan Myung-hee selama ini. Ia hanya ingin melindungi anaknya itu agar tak terkena angin, cukup dirinya. Namun, ternyata ia salah. Anaknya justru menderita. 

Dan ia tak mau lagi menjadi penghalang. Ia merelakan Myung-hee pergi, menapaki jalannya sendiri. Deep. Sedih. 

Dan ada scene di mana anak-anak berbincang. "Kenapa tentara menembak warga sipil? Padahal kita saudara sebangsa?"

"Pasti ada orang besar yang mengendalikan tentara itu," jawab anak satunya.

"Tapi kenapa mereka harus mengerahkan tentara? Apa yang mereka ingin taklukkan?” 

Sungguh pertanyaan yang sama yang ingin aku lontarkan melihat kondisi negeri kita tercinta saat ini. Menggiring opini untuk memecah belah anak bangsa: "Apa yang ingin kalian taklukkan?" 

Oh, ya drama ini bersetting Gwangju tahun 1980. Jadi semua serba estetik. Entah kenapa merasa mata jadi dimanjakan. Hehehhe....

Selamat menonton!





Wonnie

Hanya wanita yang hobi ngedrakor dan suka menulis

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama