Credit tvN |
Annyong, Dramaphile! Gimana kabarnya? Semoga pada sehat-sehat semua. Oh, ya kali ini saya mau bahas drama terbaru Mas Anchornim, nih. Doi sudah bosan bacain berita dan beralih profesi jadi psikiater. Hehehehe….
You Are My Spring. Entah kenapa drama ini sepertinya jarang dibahas. Di Google, penilaian drama ini hanya ada di angka 88—jauh dari Hospital Playlist ataupun Nevertheless yang ada di angka 94 dan mungkin sudah naik lagi seiring dengan popularitasnya.
Kebetulan ketiga drama ini sama-sama tayang di Netflix. Lah, hubungannya apa? Gak ada apa-apa. Hanya sekadar informasi.
Teman saya cerita, nonton drama ini katanya dia jadi ngantuk dan tertidur. Di beberapa akun K-drama, saya juga menemukan hal serupa. Banyak yang bilang mereka mengantuk dan akhirnya memilih say goodbye.
Saya akui alur YAMS ini memang agak lambat, tapi bukan berarti dramanya gak bagus. Perlu digarisbawahi bahwa tidak ada drama yang jelek. Semua hanya soal selera. Dan sampai episode 10, saya masih menikmati drama ini tanpa dihinggapi rasa kantuk, bosan, maupun main skip. Meskipun ratingnya terbilang rendah, tapi saya baik-baik saja.
Menurut saya, YAMS ini tipe drama healing yang next levellll (nyebutnya ala-ala Winter Aespa, yah). Keempat tokohnya sama-sama struggle sama hidup mereka. Mereka sudah dewasa, tapi bayangan masa lalu masih menghantui hidup mereka.
Kang Da-jeong yang trauma dengan KDRT yang dilakukan ayahnya pada ibunya, hingga ia memimpikan menjadi anak tetangganya. Ju Young-do meski sudah jadi psikiater, tapi kematian kakaknya yang tidak bisa ia selamatkan masih membayanginya. Ia bisa menyembuhkan banyak pasiennya, tapi dirinya justru menyimpan luka.
Masa lalu second lead kita juga tak kalah sedih. Ian Chase terlahir kembar namun mereka hanya diberi satu nama, dan ia dibuang oleh ibunya sendiri ke tempat adopsi ilegal. Sementara Ahn Ga-yeong dimanfaatkan oleh manajer dan pacarnya hingga ia kehilangan kepercayaan dan takut menerima pengakuan cinta tulus dari laki-laki lain. Ia bahkan hampir bunuh diri.
Saya menikmati setiap scene yang dihadirkan, setiap dialog yang mereka ucapkan, setiap ekspresi yang mereka perlihatkan.
Ekspresi Da-jeong yang trauma soal KDRT ibunya hingga tangannya bergetar saat menceritakan kejadian itu jleb banget sih. Ia merasa bersalah pada ibunya yang setiap dipukul ayahnya ia justru tak bisa berbuat apa-apa, selain bersembunyi dan menutup pintu kamarnya.
Da-jeong menyimpan kisah itu rapat-rapat. Ia bertingkah seolah ia baik-baik saja, padahal sebenarnya ia trauma.
Dan akhirnya ia bertemu Young-do, si Mas Psikiater. Ia berhasil membuka pintu hati Da-jeong untuk menceritakan masa lalunya agar gadis itu bisa melanjutkan hidupnya tanpa dibayangi rasa bersalah pada ibunya.
Saya berharap keempat tokoh kita ini akan menemukan kebahagiaan dan tak akan dibayang-bayangi lagi oleh masa lalu yang menyakitkan. Bagaimana pun bentuk masa lalu itu, kita tetap berhak untuk bahagia. Iya, nggak? Iya dong.
Dan ketika terpuruk, rasanya beda ketika ada seseorang di sisi kita dengan yang sama sekali tidak ada. Meski tak bisa mengubah apa-apa, tapi percaya kata-kata seperti "Semangat, yah? "Fighting!" "Yang sabar, yah" itu meaningful daripada tak ada sama sekali. Itu setidaknya menunjukkan bahwa kita tak sendirian.
Sumpah saya tak mengantuk menonton drama ini. Yang ada saya malah senyam senyum melihat Mas Psikiater dan Mbak Dajeong. Juga kepolosan Ahn Ga-yeong. Serta si Ian Chase yang dingin dan penuh misteri. Belum lagi orang-orang di sekitar mereka yang karakternya juga lucu.